Efisiensi vs. Manipulasi: Di Mana Batasnya? , Menteri
Bahlil dan "Legalisasi" Skema Blending
( pojok
catatan : Arif Surya - Raekula )
![]() |
Doc : Jakarta, Selasa (20/8/2024). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti |
“ Amarah Sang Asap
diantara wedangan dan jalanan “
Di pojok taman kota .dengan udara yang mulai gerah, Gerobak
wedangan di bahu jalan. Sederhana, gerobak kayu dengan warna lusuh. Seorang
lelaki paruh baya “Pak Dirman” duduk di bangku kayu, mengaduk kopi hitam yang
mengepul pelan di cangkir kalengnya. Ia baru saja pulang dari mengantar anaknya
ke sekolah dengan motornya yang semakin sering batuk-batuk di jalan.
Dari radio kecil yang tergantung di sudut warung, suara
penyiar membacakan berita dengan nada serius.
"Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa
skema blending BBM yang dilakukan Pertamina tetap sah secara regulasi selama
memenuhi standar yang ditetapkan. Blending ini bertujuan untuk efisiensi
produksi dan memastikan harga tetap stabil di tengah fluktuasi pasar minyak
dunia..."
Pak Dirman mendesah pelan. Ia menatap cangkir kopinya, lalu
melirik motornya di luar sana. Mesinnya memang sudah rewel, tapi akhir-akhir
ini, rasanya lebih sering bermasalah. Tarikannya berat, boros, dan knalpotnya
mulai mengeluarkan asap putih tipis. Awalnya, ia pikir mungkin karena oli yang
jelek atau ada masalah di karburator. Tapi belakangan, tetangganya, Bang Udin,
juga mengeluh hal yang sama.
"Ada yang aneh sama bensin sekarang, Dirman,"
kata Bang Udin kemarin sore saat mereka duduk di pos ronda. "Mesin saya
makin sering ngadat, dan borosnya nggak kira-kira."
Pak Dirman waktu itu hanya mengangguk, tapi kini kata-kata
Bang Udin terngiang lagi di kepalanya.
Warung kopi mulai ramai oleh pelanggan lain, beberapa supir
ojek dan tukang becak yang mampir untuk sarapan. Di pojok meja, seorang anak
muda membuka ponselnya dan membaca berita dengan suara lantang.
"coba , baca nih. Kata menteri, selama spesifikasinya
memenuhi standar, blending itu sah-sah aja."
Seorang bapak dengan kaus lusuh tertawa sinis.
"Standar siapa? Standar kita atau standar mereka?"
Pak Dirman ikut tertawa kecil. "Dulu juga katanya
minyak goreng aman, tapi harga naik nggak karuan. Giliran rakyat protes
dijawabnya seenaknya, eh, yang kaya makin kaya."
Obrolan itu terus berlanjut, semakin seru, semakin penuh
amarah yang terpendam. Karena di meja itu, duduk mereka-mereka yang hidup dari
liter demi liter bensin. Tukang ojek yang harus mengisi tangki setiap hari,
sopir angkot yang sering mengeluhkan mesin mogok di tengah jalan, dan Pak
Dirman sendiri, yang tiap bulan harus menyisihkan uang dari hasil berjualan
untuk sekadar membeli BBM.
"Jadi, ini bukan sekadar urusan bensin, ya?"
tanya anak muda tadi, matanya berbinar dengan kemarahan muda yang belum
terkikis waktu.
"Iya, Nak," jawab Pak Dirman pelan. "Ini
urusan ditipunya kita bertahun-tahun."
Di luar, knalpot motor-mobil terus mengepulkan asap tipis
ke udara. Entah karena mesinnya yang sudah uzur, atau karena amarah asap yang
sudah tidak terbendung . Pak Dirman menghela napas, menyesap kopinya yang mulai
dingin, sementara berita di radio terus berputar—bicara tentang efisiensi,
regulasi, dan angka-angka yang tak pernah menyentuh mereka yang duduk di
wedangan ini.
“ Obrolan Rakyat ----"
Ya itulah , Seperti angin yang membawa bau bensin, Menteri
Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia kembali memantik perdebatan. Kali ini,
ia membela praktik pencampuran BBM (blending) di PT Pertamina. Argumennya
sederhana: jika produk akhir memenuhi spesifikasi, maka sah secara regulasi.
Namun, adakah regulasi yang cukup ketat untuk memastikan bahwa ini bukan hanya
cara baru menipu rakyat dengan kemasan berbeda?
Pencampuran Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92) bukan sekadar permainan angka oktan di laboratorium. Ini menyentuh urat kepercayaan publik yang selama ini kian menipis. Rakyat masih ingat bagaimana pencampuran solar bersubsidi dengan minyak nabati dulu merusak mesin kendaraan mereka. Kepolisian mencatat bahwa pada 2022, setidaknya 15% kasus distribusi BBM ilegal terkait modus blending tanpa standar.
Ini bukan hanya soal regulasi,
melainkan soal integritas. Apakah Pertamina bisa menjamin transparansi dan
kualitas, atau hanya sekadar berlindung di balik legalitas yang mereka jahit
sendiri?
Di sinilah letak absurditasnya. Bahlil berbicara seolah publik lupa, seolah ingatan kolektif kita bisa dihapus dengan satu pernyataan resmi. Lima tahun lebih rakyat tertipu bagaimana Pertamina, berkali-kali, bermain-main dengan kepercayaan mereka. Harga yang naik-turun tanpa kendali, kualitas bahan bakar yang diragukan, dan skandal yang tak pernah tuntas.
Kini,
tiba-tiba, blending dinarasikan sebagai inovasi? Seperti pedagang yang
mencampur beras berkualitas rendah dengan yang bagus lalu menjualnya dengan harga
premium—praktik usang yang kini disulap menjadi kebijakan energi nasional.
Jika regulasi hanya berfungsi sebagai tameng, jika
kebijakan hanya menjadi kendaraan bagi kepentingan segelintir orang, maka wajar
jika rakyat bertanya: di mana Bahlil selama ini? Apakah ia pernah benar-benar
peduli pada trauma publik? Atau, seperti biasa, kepercayaan rakyat hanya
menjadi mata uang yang terus diperdagangkan di meja kekuasaan?
Menteri Bahlil dan "Legalisasi" Skema Blending ,
Bahlil Lahadalia kembali memantik diskusi publik setelah membela praktik
pencampuran BBM (blending) di PT Pertamina. Dalam pernyataanya, Bahlil
menekankan bahwa skema ini sah secara regulasi, asalkan produk akhir memenuhi
standar spesifikasi bahan bakar.
Argumen ini bisa saja dianggap sebagai lampu
hijau bagi industri hilir migas untuk mengoptimalkan produksi, terutama di
tengah fluktuasi harga energi global. Namun, di balik retorika "kepatuhan
aturan", terselip pertanyaan kritis: Apakah regulasi yang ada
cukup ketat untuk mencegah ekses negatif, atau justru menjadi tameng bagi
praktik ambigu?
Isu pencampuran Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92) bukan sekadar polemik teknis, melainkan ujian berat bagi kredibilitas sektor energi nasional. Masyarakat masih trauma dengan kasus serupa di masa lalu, seperti pencampuran solar bersubsidi dengan minyak nabati yang merugikan konsumen dan merusak mesin kendaraan.
Data Kepolisian tahun 2022 mencatat, 15%
kasus distribusi BBM ilegal terkait modus blending tanpa standar. Jika
Pertamina tak mampu menjamin transparansi proses dan kualitas, langkah ini berisiko
memperdalam ketidakpercayaan publik—aset terbesar yang justru sulit dipulihkan.
Blending BBM: Skema yang Lumrah, tapi Sensitif ,
Blending dalam industri migas bukanlah hal baru. Proses pencampuran BBM ini
biasa dilakukan di kilang minyak untuk menyesuaikan spesifikasi produk dengan
standar yang diatur oleh pemerintah. Dalam hal ini, tujuan utamanya adalah
memastikan bahan bakar yang dipasarkan memenuhi ketentuan teknis yang telah
ditetapkan.
Bahlil pun menegaskan bahwa selama spesifikasi akhir bahan
bakar tetap sesuai dengan standar, skema blending tidak perlu dipersoalkan.
Namun, pernyataan ini tak serta-merta menutup celah pertanyaan publik: sejauh
mana transparansi dalam proses blending ini? Bagaimana masyarakat bisa yakin
bahwa BBM yang mereka beli benar-benar memiliki kualitas sesuai dengan klaim
perusahaan?
Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan. Kasus praktik
blending yang tidak sesuai dengan regulasi sudah beberapa kali mencuat di
berbagai belahan dunia. Di Indonesia, pengawasan terhadap kualitas BBM yang
beredar sering kali menjadi isu yang mencuat, terutama ketika harga bahan bakar
mengalami fluktuasi.
Pertamina Membantah, Tapi Publik Tetap Bertanya
Di tengah kekhawatiran ini, PT Pertamina Patra Niaga,
selaku anak usaha yang bertanggung jawab atas distribusi BBM, dengan tegas
membantah adanya praktik upgrade blending yang mengubah Pertalite menjadi
Pertamax. Plt. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra,
menegaskan bahwa Pertamina hanya mencampurkan zat aditif pada Pertamax RON 92
untuk meningkatkan performa bahan bakar.
Penambahan zat aditif ini, menurut Ega, bertujuan sebagai
antikarat, pembersih mesin, dan meningkatkan efisiensi pembakaran. Dengan kata
lain, pencampuran ini bukanlah praktik ilegal, melainkan bagian dari standar
operasional dalam produksi BBM berkualitas tinggi.
Namun, publik tentu masih bertanya-tanya: jika tidak ada
praktik oplosan, mengapa isu ini mencuat? Apakah benar tidak ada celah bagi
praktik yang merugikan konsumen? Bagaimana mekanisme pengawasan terhadap proses
blending yang dilakukan oleh Pertamina?
Di negeri ini, harga BBM bukan sekadar angka yang tertera
di pompa bensin. Ia adalah percakapan di warung kopi, di jalanan, di antrean
panjang yang mengular di SPBU. Maka ketika isu pencampuran BBM (blending)
mencuat, pertanyaannya bukan hanya soal teknik dan regulasi, tetapi soal siapa
yang diuntungkan dan siapa yang kembali harus menelan pil pahit.
Jika produksi bisa ditekan lewat blending, seharusnya harga
BBM di pasaran ikut mencerminkan efisiensi ini. Namun, di negara yang penuh
paradoks ini, justru yang sering terjadi adalah sebaliknya—penghematan
dilakukan di hulu, tetapi harga tetap melambung di hilir. Transparansi?!! Sebuah
kemewahan yang tak pernah benar-benar diberikan.
Bahlil, dengan nada yang seolah penuh keyakinan, menyebut
bahwa skema blending tidak masalah selama tetap sesuai spesifikasi. Namun, di
saat yang sama, ia juga menyinggung perlunya perbaikan dalam sistem impor BBM.
Pernyataan ini, jika ditelaah lebih jauh, justru membongkar ketidaksempurnaan
tata kelola energi yang sudah lama jadi borok. Jika impor masih bermasalah,
jika regulasi masih longgar, lalu bagaimana bisa publik percaya bahwa blending
ini murni demi kepentingan bersama?
Kepercayaan Publik Serupa Dengan Aset yang Kian
Menipis , Pada akhirnya, blending bukan hanya perkara oktan,
bukan hanya urusan laboratorium dan peraturan yang bisa dijelaskan dengan tabel
dan angka. Ini soal kepercayaan yang kian menipis terhadap tata kelola energi
nasional. Pertamina dan pemerintah punya tanggung jawab moral untuk memastikan
bahwa setiap liter BBM yang dibeli rakyat adalah BBM yang sesuai dengan
klaimnya, tanpa manipulasi tersembunyi.
Jika pemerintah ingin meyakinkan publik bahwa pencampuran ini bukan masalah, maka langkah konkret harus diambil. Pengawasan independen, transparansi data yang bisa diakses publik, dan sistem yang benar-benar akuntabel harus dijamin. Jika tidak, blending hanya akan menjadi satu lagi episode dalam sinetron panjang ketidakpercayaan rakyat terhadap pengelolaan energi negeri ini. Karena yang dipertaruhkan bukan sekadar harga BBM, tetapi keyakinan bahwa negara ini masih berpihak kepada rakyatnya—dan bukan hanya kepada mereka yang bermain di meja kekuasaan.
Di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini, ironi seringkali menjadi bagian
dari keseharian kita. Di tengah jeritan rakyat yang mengeluhkan harga bahan
bakar yang kian mencekik, tersingkap fakta bahwa para petinggi perusahaan
energi menikmati kompensasi yang luar biasa. Laporan Keuangan 2023 PT Pertamina
Patra Niaga mengungkapkan bahwa total kompensasi untuk manajemen kunci mencapai
19,1 juta dollar AS atau sekitar Rp 312 miliar. Dengan tujuh anggota Dewan Komisaris
dan tujuh anggota Dewan Direksi, setiap individu diperkirakan menerima sekitar
Rp 21,8 miliar per tahun, atau sekitar Rp 1,81 miliar per-bulan.
Namun, angka-angka fantastis ini seolah kehilangan maknanya ketika dihadapkan pada realitas bahwa Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Selain Riva, enam individu lainnya juga terjerat dalam kasus ini, termasuk pejabat tinggi di anak perusahaan Pertamina.
Dalam kasus yang mencerminkan kompleksitas dan tantangan tata kelola sektor energi, delapan individu dari PT Pertamina dan afiliasinya telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan korupsi dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang selama periode 2018–2023.
- 1. Sani
Dinar Saifuddin (SDS): Sebagai Direktur Feedstock and Product Optimization
PT Kilang Pertamina Internasional, SDS diduga berperan dalam pengurangan
produksi kilang domestik, yang ironisnya membuka jalan bagi peningkatan impor
minyak mentah.
- 2. Riva
Siahaan (RS): Dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra
Niaga, RS diduga menyetujui impor minyak mentah dan produk kilang dengan harga
yang tidak menguntungkan, sebuah keputusan yang patut dipertanyakan.
- 3. Yoki
Firnandi (YF): Sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping,
YF diduga melakukan markup kontrak pengiriman, yang menambah beban biaya pada
PT Pertamina Patra Niaga, sebuah praktik yang merugikan efisiensi ekonomi.
- 4. Agus
Purwono (AP): Dalam perannya sebagai VP Feedstock Management PT Kilang
Pertamina Internasional, AP diduga berkolusi dengan SDS dan RS dalam menurunkan
produksi kilang dan memenangkan broker minyak mentah serta produk kilang secara
tidak sah, sebuah indikasi dari tata kelola yang lemah.
- 5. Dimas
Werhaspati (DW): Sebagai komisaris di PT Navigator Khatulistiwa dan PT
Jenggala Maritim, DW diduga berperan dalam komunikasi yang bertujuan untuk
mendapatkan harga tinggi sebelum syarat terpenuhi, sebuah strategi yang
merugikan pasar bebas.
- 6. Muhammad
Kerry Adrianto Riza (MKAR): Sebagai pemilik manfaat PT Navigator
Khatulistiwa, MKAR diduga mendapatkan keuntungan dari markup kontrak pengiriman
yang dilakukan oleh YF, sebuah contoh klasik dari pengambilan rente.
- 7. Gading
Ramadhan Jenggala (GRJ): Dalam kapasitasnya sebagai komisaris di PT
Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, GRJ diduga
berkolusi dengan DW untuk mendapatkan harga tinggi sebelum syarat terpenuhi,
sebuah praktik yang mengganggu efisiensi pasar.
- 8. Edward
Cone (EC): Sebagai pedagang komoditas di PT Pertamina Patra Niaga, EC
diduga terlibat dalam pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92,
serta melakukan blending produk kilang untuk menghasilkan RON 92 di terminal PT
Orbit Terminal Merak, sebuah tindakan yang menyesatkan konsumen dan pasar.
Mengapa di tengah besarnya kompensasi yang diterima, muncul
pertanyaan mendasar: apakah remunerasi yang tinggi menjamin integritas dan
kinerja yang sepadan? Ataukah justru menciptakan jurang antara elite korporasi
dan rakyat yang mereka layani? Ketika kepercayaan publik terhadap institusi
terus tergerus oleh skandal demi skandal, kita harus merenung: siapa sebenarnya
yang diuntungkan dalam permainan ini?
Mungkin, sudah saatnya kita tidak hanya fokus pada
angka-angka gaji dan tunjangan, tetapi juga pada nilai-nilai etika dan tanggung
jawab sosial. Karena pada akhirnya, kekayaan sumber daya alam seharusnya
menjadi berkah bagi seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang di puncak
piramida korporasi.
Mengingat Kembali pada Tahun 2023 , "Jangan Pegang
Sumur Kalau Tak Bisa Produksi!" – Sindiran Bahlil, "Dalam
ekonomi, perubahan sikap 180 derajat biasanya tanda krisis—bukan
strategi." , kitab bisa melihat rekam jejak digital apa yang disampaikan
Bahlil pada tahun 2023 dan saat kasus yang mencuat saat ini seperti dua mata
pisau yang berlawanan.
Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi
sekaligus Ketua BKPM, menohok Pertamina dengan pertanyaan pedas: "Mana
yang bisa kalian lakukan dan mana yang tidak? Jangan semua sumur kalian pegang,
tapi produksinya tak jalan-jalan."
Ini bukan sekadar kritik—ini paradoks politik. tiba-tiba mendesak Pertamina menyerahkan sumur migas tak produktif ke swasta. Apa yang berubah? Apakah ini pertanda pemerintah kehilangan kesabaran, atau sekadar sandiwara untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan sistemik?
Pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mendesak Pertamina
melepas sumur migas idle ke swasta bukan sekadar kebijakan—ini
adalah pengakuan terselubung bahwa Indonesia telah gagal mengelola
sumber daya energinya sendiri. Dalam pidatonya pada 20 September 2023,
Bahlil berargumen: "Kalau tidak bisa kelola, serahkan ke swasta.
Jangan dipaksa pegang, produksi tidak jalan."
"Kebijakan yang terlihat terlalu mudah biasanya
mengabaikan kompleksitas di baliknya." Di sini, Bahlil
mengulang kesalahan klasik ekonom pasar bebas—berasumsi bahwa privatisasi
selalu solusi, tanpa memahami akar masalah: tata kelola yang bobrok.
Ketika kritik semakin tajam terhadap Pertamina,
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia muncul dengan solusi radikal: cabut konsesi
Pertamina di sumur-sumur tak produktif, lalu serahkan ke Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS) swasta. Argumennya sederhana: "Lebih baik 50% produksi
dari swasta daripada 100% gagal dari BUMN."
Tapi mari bertanya: "Apa bukti bahwa swasta akan lebih
baik?" Di Riau, 35% sumur migas dikelola KKKS asing—dan 60% di antaranya
terbengkalai. Masalahnya bukan sekadar kepemilikan, tetapi sistem bagi hasil
yang timpang dan regulasi yang korup. Jika mekanisme yang mengaturnya masih
sama, menyerahkan aset ke tangan swasta tidak lebih dari sekadar memindahkan
masalah dari satu tangan ke tangan lainnya.
Bisa jadi Pemerintah mungkin benar dalam satu hal: monopoli
tanpa akuntabilitas adalah resep bencana. Tapi mengganti monopoli negara dengan
oligopoli swasta yang bermain politik bukan jawaban.
Lalu setelah semua Drama dan Narasi itu munculah Angka
yang Mengejutkan: Satu Kuadriliun Alasan untuk Meragukan Segalanya dan “ Golkar
Berteriak Membela Ketuanya”
Mari mulai dengan hal yang jelas: Rp 1 kuadriliun.
Untuk memahami angka ini, anggaran negara Indonesia pada 2023 sekitar Rp 3.061
triliun. Kerugian dari skandal korupsi Pertamina ini hampir sepertiga dari
belanja negara setahun. Di negara dengan 25 juta penduduk miskin dan
kesenjangan infrastruktur yang merugikan ekonomi 2% per tahun, ini bukan
sekadar skandal—ini bencana.
Pertamina, raksasa energi milik negara yang menguasai 90%
kilang minyak Indonesia, seharusnya menjadi penjaga ketahanan energi. Namun,
seperti banyak BUMN di negara berkembang, ia telah lama jadi "lapangan
main" bagi elit yang haus rente. Kasus mega korupsi 2018–2023 yang
terungkap pada 2025 memperlihatkan pembusukan sistemik: proyek fiktif, kontrak
menggelembung, dan budaya impunitas.
![]() |
Doc :Jakarta, Rabu (26/2/2025). (KOMPAS.com/YOHANA ARTHA ULY) |
Tapi dibalik itu semua ada twist: Bahlil Lahadalia,
Menteri ESDM dan Ketua Umum Partai Golkar, dituding terlibat. Pembelaan
Golkar? "Dia belum menjabat saat itu!" (Bahlil
menjadi menteri pada Agustus 2024.) Namun dalam politik, persepsi sering
mengalahkan fakta. Seperti kata Paul Krugman: "Dalam ekonomi,
angka tidak berbohong. Dalam politik, mereka jarang diberi kesempatan
bicara."
Teater Politik: Pembelaan Golkar Dengan Keahlian Seninya
Golkar, partai tertua Indonesia yang bertahan sejak era
Suharto, ahli dalam seni bertahan hidup. Ketua Bidang Media Golkar, Nurul
Arifin, bersikukuh bahwa masa jabatan Bahlil (2024–sekarang) membebaskannya
dari kasus 2018–2023. Secara teknis benar—tapi secara politik, ini tone-deaf.
Publik tidak sedang mengutak-atik kalender; mereka bertanya: Bagaimana
partai yang berkuasa puluhan tahun membiarkan korupsi sistemik ini?
Ari Junaedi, pengamat komunikasi dari LSPR, tepat menyebut
ini perang narasi politik. Dengan menyudutkan Bahlil sebagai
"korban waktu," Golkar mengalihkan sorotan dari perannya sendiri
dalam membudayakan praktik BUMN sebagai "kerajaan pribadi." Faktanya:
Golkar selama ini menguasai penunjukan pimpinan Pertamina. Sekalipun Bahlil tak
bersalah, sikap partai yang enggan mengakui kompilitas kelembagaan justru
menguatkan kecurigaan.
"Ketika korupsi menjadi fitur, bukan bug, sistemnya
tidak rusak—ia sengaja dibiarkan bobrok."
Dampak Ekonomi: Lubang Rp 1 Kuadriliun di Kantong Indonesia
Apa yang bisa dibeli dengan Rp 1 kuadriliun?
- 5.000 km jalan
tol (cukup untuk menghubungkan Sumatra ke Papua).
- Layanan
kesehatan untuk 10 juta keluarga selama 10 tahun.
- Mengkapasitaskan tiga kali lipat energi terbarukan Indonesia pada 2030.
Alih-alih, dana itu menguap ke rantai pasok tak jelas dan
rekening luar negeri. Sebagai perbandingan, pendapatan Pertamina pada 2023
adalah Rp 929 triliun—artinya, skandal ini menyedot lebih dari pendapatan
setahun mereka. Dampak makro? Rupiah melemah, investasi asing mengering, dan
inflasi meroket saat pemerintah berusaha menambal defisit.
Korupsi bukan hanya kegagalan moral—ia adalah
"pajak" bagi pertumbuhan. Studi menunjukkan negara dengan tingkat
korupsi setara Indonesia (peringkat 115 Transparency International 2023) tumbuh
1–2% lebih lambat per tahun. Bagi negara yang ingin lolos dari jebakan
pendapatan menengah, ini ancaman eksistensial.
Mukhtarudin, anggota Komisi VII DPR dari Golkar, menyeru
Pertamina "mereformasi tata kelola." Tapi reformasi butuh lebih dari
retorika. Lihat jalan rencana "reformasi" Bahlil:
- Memaksa olah
minyak mentah dalam negeri (kemenangan nasionalis, tapi mahal tanpa
modernisasi kilang).
- Memangkas waktu
impor BBM dari setahun jadi enam bulan (efisiensi, tapi rawan
penyalahgunaan tanpa transparansi).
Ini seperti menempelkan plester di luka tembak. "Kebijakan baik butuh bukan hanya ide, tapi institusi untuk menjalankannya."
Apakah Golkar Sadar ??? , Skandal
Pertamina bukan tentang satu orang atau satu partai. Ini tentang apakah
Indonesia bisa beralih dari ekonomi "siapa kamu kenal" ke
masyarakat "apa yang kamu tahu". Bersalah atau tidaknya
ucapan Bahlil untuk meredam ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah
khususnya Pertamina hanyalah subplot; cerita utamanya adalah kegagalan
sistemik.
“ Bukankah Pertumbuhan butuh kepercayaan. Kepercayaan butuh
akuntabilitas. Akuntabilitas butuh keberanian." Pilihan
Indonesia jelas: bertahan dengan status quo, atau membangun institusi yang
membuat skandal Rp 1 kuadriliun tidak akan terulang.
Waktunya mulai sekarang….rakyat diam atau bergerak ??!!!!