"Gejolak di Tubuh PDIP: Kasus Suap, Pelarian, dan Upaya Penghambatan Hukum yang Mengguncang Politik Indonesia"
Source : Investor . id (B-Universe/Joanito De Saojoao)
Gelapnya Awan di Atas Partai Berpengaruh Indonesia
Pada awal 2020, Indonesia—negara dengan sejarah panjang pertarungan melawan
korupsi—kembali dikejutkan oleh skandal yang menyentuh jantung salah satu
partai politik terkuatnya: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kasus
ini tidak hanya melibatkan calon legislatif yang ambisius, Harun Masiku, tetapi
juga menjerat Sekretaris Jenderal partai, Hasto Kristiyanto, dalam dugaan
penghambatan penyidikan. Sebuah kisah tentang kekuasaan, suap, dan upaya
melawan arus transparansi yang memantik pertanyaan: Seberapa tahan
sistem politik Indonesia terhadap godaan korupsi?
Harun Masiku, calon legislatif PDIP dari daerah pemilihan Sumatra Utara,
awalnya hanya salah satu dari ratusan nama dalam daftar calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, nasibnya berubah ketika calon terpilih dari
partainya meninggal dunia sebelum pelantikan. Peluang untuk menggantikan posisi
tersebut—melalui mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW)—mendorong
Harun ke pusaran skandal. Pada 8 Januari 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menjerat
Wahyu. Namun, Harun—yang diduga berada di lokasi—berhasil melarikan diri. Sejak
itu, ia menjadi buronan yang menghilang bak ditelan bumi.
Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto
Kristiyanto—sosok yang selama ini dikenal sebagai juru bicara tegas partai—kini
menghadapi tuduhan serius: merintangi penyidikan KPK. Menurut
keterangan resmi KPK pada Desember 2024, Hasto diduga memerintahkan stafnya
untuk menghubungi Harun saat OTT berlangsung. Instruksinya: " untuk merendam ponselnya ke dalam air." Tujuannya
jelas: menghancurkan bukti komunikasi yang bisa menguatkan kasus.
Hasto Kristiyanto, didakwa menghalangi penyelidikan kasus dugaan korupsi
yang melibatkan mantan calon legislatif PDIP, Harun Masiku. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Hasto memerintahkan Harun untuk
bersembunyi serta merendam ponselnya agar tidak bisa ditangkap oleh KPK.
Hal ini diungkapkan oleh jaksa dalam surat
dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta
Pusat pada Jumat (14/3/2025). Dalam dakwaan tersebut, jaksa menjelaskan bahwa
KPK sebelumnya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu Setiawan,
yang saat itu menjabat sebagai Komisioner KPU RI, pada 8 Januari 2020.
Wahyu ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta
setelah tim KPK memperoleh informasi mengenai suap yang bertujuan meloloskan
Harun Masiku menjadi anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
KPK menyebut bahwa Hasto mengetahui penangkapan Wahyu sekitar pukul 18.19 WIB.
"Selanjutnya, terdakwa melalui Nurhasan menginstruksikan Harun Masiku untuk merendam ponselnya ke dalam air serta tetap berada di kantor DPP PDI Perjuangan. Langkah ini bertujuan agar keberadaan Harun tidak terdeteksi oleh petugas KPK," ujar jaksa dalam dakwaannya.
Nurhasan kemudian menemui Harun Masiku di Hotel Sofyan Cut Mutia, Jakarta
Pusat, sekitar pukul 18.35 WIB. Sekitar 18.52 WIB, ponsel Harun Masiku sudah
tidak aktif dan tidak dapat dilacak lagi.
"Selanjutnya petugas KPK memantau keberadaan Harun Masiku melalui update
posisi telepon genggam milik Nurhasan yang terpantau pada jam 20.00 WIB bersama
dengan Harun Masiku berada di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan pada
saat itu bersamaan dengan Kusnadi selaku orang kepercayaan terdakwa juga
terpantau berada di PTIK. Kemudian, petugas KPK mendatangi PTIK namun tidak
berhasil menemukan Harun Masiku," ujar jaksa.
Tindakan ini, jika terbukti, bukan hanya melanggar etik
politik, tetapi juga Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21
tentang Penghambatan Proses Hukum. "Ini adalah serangan terhadap
institusi penegak hukum," tegas Setyo Budiyanto, Ketua KPK, dalam
konferensi pers.
Apakah Penetapan Hasto sebagai tersangka merupakan "politisasi
hukum" ?
Namun, KPK membantah tuduhan tersebut. "Kami
bekerja berdasarkan bukti, bukan kepentingan politik," jawab
Setyo. Analis politik dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, memberikan
perspektif lebih luas: "Ketegangan antara KPK dan partai politik
bukan hal baru. Namun, kasus ini menguji independensi KPK di bawah kepemimpinan
baru—apakah mereka benar-benar netral atau terjebak dalam permainan
kekuasaan?"
Empat tahun sejak pelariannya, Harun Masiku tetap menjadi
teka-teki. KPK mengaku telah berkoordinasi dengan Interpol dan pihak imigrasi
di beberapa negara, termasuk Singapura dan Malaysia, untuk melacak
keberadaannya. Namun, hasilnya nihil. Apakah ada jaringan yang
melindunginya ??"
Spekulasi pun bermunculan. Beberapa sumber menyebut Harun
mungkin telah mengubah identitas atau bahkan melarikan diri ke negara tanpa
perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Yang lain menduga ia masih bersembunyi
di dalam negeri, dilindungi oleh pihak-pihak yang tak ingin kasus ini
terungkap.
Sebagai
partai dengan basis massa kuat , PDIP kini berada di persimpangan. Kasus ini tidak hanya merusak
reputasi Hasto—yang selama ini dianggap sebagai "otak" operasional
partai—tetapi juga menggugat komitmen PDIP dalam memberantas korupsi. "PDIP
selalu menggaungkan anti-korupsi, tapi bagaimana rakyat percaya jika
petingginya terlibat skandal?" tanya Fitriani, aktivis
Transparency International Indonesia.
Kasus
Harun-Hasto bukan fenomena isolasi. Sejak reformasi 1998, Indonesia telah
menyaksikan puluhan skandal serupa—dari kasus suap Hakim Akil Mochtar hingga
korupsi e-KTP. Namun, yang membuat kasus ini unik adalah keterlibatan
pejabat partai tingkat tinggi dalam upaya sistematis menghambat hukum.
"Ini menunjukkan korupsi bukan hanya soal uang, tapi
juga tentang perlindungan kekuasaan," papar Fransisca
Ria Susanti, mantan komisioner KPK. "Ketika hukum dianggap
ancaman, para elit akan menggunakan segala cara untuk melindungi diri—bahkan
dengan merusak institusi negara."
Apa yang terjadi pada PDIP ini adalah pengingat pahit: demokrasi
Indonesia masih rentan terhadap kanker korupsi. Namun, langkah tegas KPK—meski
dihujani kritik—memberikan secercah harapan. Seperti kata mantan ketua KPK,
Abraham Samad: "Hukum harus seperti pedang: tak pandang bulu, tak
kenal takut."
Di tengah tekanan politik dan bayang-bayang ketidakpastian,
masyarakat menanti: akankah Harun dan Hasto diadili dengan adil? Atau kasus ini
akan menjadi episode lain dalam drama panjang korupsi yang tak kunjung tuntas?
Jawabannya akan menentukan masa depan integritas politik Indonesia