Ahok Dalam Pertamina: Drama Pengawasan, Kerugian Triliunan, dan Pertarungan Kuasa di Balik Skandal Migas"
( pojok catatan by : Arif Surya -raekula)
![]() |
(dok Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden) |
Sejak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ditunjuk sebagai
Komisaris Utama Pertamina pada 2019, langkahnya seperti berjalan di atas bara.
“Saya bukan godfather. Tugas saya cuma duduk mengawasi,” klaimnya.
Tapi, di tengah kerugian triliunan, skandal pengadaan LNG, hingga kebakaran
tangki minyak yang diduga terkait pencurian, pernyataan itu justru memantik
pertanyaan: sejauh apa kekuasaan seorang komisaris di BUMN yang menjadi
jantung—dan sekaligus luka—sektor energi Indonesia?
Pertamina, raksasa dengan 200 anak perusahaan dan utang
menumpuk, adalah medan perang antara idealisme dan pragmatisme. Di satu sisi,
Ahok—dengan gaya hands-on dan retorika anti-korupsi—berusaha
membongkar borok internal: dari pengadaan aditif bermasalah, mark-up harga
BBM, hingga aliran dana mencurigakan ke “oknum BPK”. Di sisi lain, ia terjepit
oleh struktur korporasi yang membatasi kewenangannya. “Saya cuma bisa teriak di
rapat, bukan pecat direksi,” akunya.
Tahun 2020-2024 menjadi saksi ironi: kerugian Pertamina
mencapai Rp11 triliun (2020) hingga potensi Rp117 triliun (2021) akibat
kebijakan harga BBM di bawah pasar. KPK pun menyelidiki kerugian Rp2,1 triliun
dari pengadaan LNG ilegal (2023), mengaitkan Ahok sebagai saksi kunci. Namun,
di tengah gugatan Hotman Paris—yang menuduhnya “lamban bersuara”—Ahok justru
membeberkan bukti rekaman rapat dan dokumen pengadaan yang ia klaim sebagai
“senjata” untuk memenjarakan mafia migas.
Konflik ini bukan sekadar bagaimana Ahok bisa diam saat berada di Pertamina,
melainkan cermin ambivalensi sistemik. Di panggung yang sama, BUMN dijadikan
“kantor kedua” elite, di mana 35% jabatan direksi dan komisaris diisi mantan
politisi—bertentangan dengan UU yang mensyaratkan profesionalisme. Hotman Paris
mungkin benar: “Jika tak bisa bertindak, kembalikan gajimu!” Tapi, Ahok memilih
jalan lain: membuka kotak Pandora tata kelola Pertamina, sambil berteriak,
“Saya berani jamin, semua data ada di sini!”
Di balik keributan ini, ada pertanyaan yang lebih gelap:
mengapa reformasi BUMN selalu gagal? Apakah karena korupsi yang mengakar, atau
karena negara tak pernah serius memutus lingkaran godfather yang
menggerogoti dari dalam? selama Pertamina menjadi ajang rebutan
kuasa—bukan rumah bagi transparansi—maka kerugian triliunan hanyalah gejala
dari demokrasi yang terperangkap dalam jerat oligarki.
Mari kita Kembali melihat apakah sejatinya Ahok benar-benar bukan menjadi “God Father” di Pertamina ?
Ahok bukanlah nama asing dalam peta kekuasaan Indonesia.
Setelah karir politiknya di Pilkada DKI 2017 berakhir dengan vonis penjara, ia
kembali ke publik pada 2019 melalui pintu belakang korporasi: Seperti diketahui, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi diangkat
sebagai Komisaris Utama Pertamina oleh Menteri BUMN Erick Thohir pada 25 November 2019.diangkat sebagai Komisaris Utama Pertamina.
"Insya Allah saya rasa sudah
putus dari beliau (Presiden Joko Widodo selaku ketua Tim Penilai Akhir). Pak
Basuki akan menjadi komisaris utama Pertamina," ujar Erick kepada wartawan
ketika ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Walau langkah ini menuai kritik. Bagi sebagian kalangan,
penempatan mantan politisi di tubuh BUMN kerap dianggap sebagai “proyek lunak”
untuk menjaga relevansi—atau bahkan sebagai bentuk political reward.
Pertamina, sebagai holding company energi
terbesar Indonesia, adalah entitas yang kompleks. Perusahaan ini bukan hanya
mengelola cadangan migas senilai ratusan triliun, tetapi juga menjadi alat
politik pemerintah dalam menstabilkan harga dan menyalurkan subsidi. Sayangnya,
beban tersebut sering berbenturan dengan realitas bisnis. Laporan BPK periode
2018-2019 mencatat setidaknya 14 temuan ketidakwajaran, mulai dari
tumpang-tindih kebijakan hingga potensi korupsi di proyek infrastruktur.
Di tengah situasi saat itu , kehadiran Ahok—dengan citra dari sebagian pendukungnya sebagai “pemberantas mafia”—seolah menjadi simbol harapan. Tapi benarkah seorang
komisaris bisa melakukan perubahan struktural? Faisal Basri, ekonom senior,
pernah mengingatkan: “Posisi komisaris di BUMN seringkali hanya rubber
stamp. Kekuasaan nyata ada di direksi dan pemegang saham, dalam hal ini
negara.”
Klaim Ahok bahwa tugasnya hanya “mengawasi” patut dikaji
ulang. Dalam struktur korporat, komisaris memang bertugas mengawasi direksi,
termasuk menyetujui rencana anggaran dan kebijakan strategis. Namun, dalam
praktiknya, garis antara pengawasan dan intervensi bisa kabur—apalagi jika
komisaris membawa modal politik besar.
Seorang mantan jaksa KPK yang enggan disebut namanya
memberi analogi: “Jika komisaris aktif turun ke lapangan, memeriksa proyek, dan
memanggil direksi untuk dimintai pertanggungjawaban, itu bukan sekadar
pengawasan. Itu bentuk micro-management yang biasanya
dilakukan pemilik perusahaan.” Pertanyaannya: apakah Ahok—dengan karakter hands-on-nya—mampu
menjaga batasan itu?
Istilah godfather yang ditolak Ahok kerap
diasosiasikan dengan kekuasaan terselubung dalam dunia korporasi. Tapi dalam
konteks Pertamina, isu ini lebih kompleks. Sejak era awal reformasi, Pertamina
dianggap sebagai “kantor kedua” para elite. Mulai dari proyek kilang minyak
yang mangkrak hingga kontrak migas yang meragukan, mafia di sektor energi kerap
disebut sebagai aktor utamanya.
Di tengah kondisi itu, kehadiran figur seperti Ahok—yang
secara terbuka membeberkan borok internal—bisa dilihat sebagai upaya shock
therapy. Tapi apakah ini cukup? Peneliti Lembaga Studi Kebijakan Publik,
Achmad Sukarsono, berpendapat: “Reformasi BUMN tidak bisa mengandalkan
individu. Butuh sistem yang mencegah intervensi politik sekaligus menjamin
transparansi.”
Kasus Ahok menyoroti fenomena lebih luas: BUMN sebagai
“tempat pensiun” politisi. Data Kementerian BUMN (2019) mencatat 35% posisi
komisaris dan direksi diisi oleh mantan pejabat atau politisi. Padahal, UU No.
19/2003 tentang BUMN mensyaratkan bahwa direksi harus profesional.
Hal ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, kehadiran politisi bisa membawa akses ke pemerintah. Di sisi lain, risiko korupsi dan konflik kepentingan meningkat. “Jika seorang komisaris datang dengan agenda politik, bukan bisnis, maka Pertamina hanya akan menjadi batu loncatan,” ujar pengamat corporate governance, Hariadi Sosrodiharjo.
Ahok mungkin benar bahwa tugas formalnya hanya mengawasi. Tapi dalam politik,
yang tak tertulis sering lebih penting dari yang tertulis. Selama BUMN
dijadikan ajang rebutan pengaruh, maka posisi seperti komisaris tetap akan
dipenuhi bayang-bayang godfather.
Pertanyaan terbesar bukanlah tentang apa yang Ahok lakukan
di Pertamina, tetapi bagaimana negara ini merumuskan ulang hubungan antara
kekuasaan dan korporasi. Sampai saat itu terwujud, BUMN akan tetap menjadi
cermin dari demokrasi yang setengah matang: ambisinya besar, tetapi strukturnya
rapuh.
Masih ingatkah pada tahun 2020 , Pertamina Rugi Rp11 Triliun: Ahok Jadi Sorotan Publik
Ahok ramai dibahas di Twitter. Hal itu
menyusul kinerja Pertamina yang mencatat rugi US$ 767,92 juta atau setara Rp
11,13 triliun (kurs Rp 14.500).
PT Pertamina (Persero) melaporkan kerugian sebesar US$
767,92 juta atau setara Rp 11,13 triliun pada semester I-2020. Angka ini
berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana
perusahaan mencatat laba sebesar US$ 659,96 juta atau Rp 9,56 triliun.
Penurunan kinerja ini terutama disebabkan oleh anjloknya
penjualan perusahaan sebesar 19,84%, menjadi US$ 20,48 miliar dibandingkan
periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 25,55 miliar. Meskipun total
beban pokok penjualan dan beban langsung berhasil turun 14,15% menjadi US$
18,87 miliar, penurunan tersebut belum mampu menutupi kerugian akibat turunnya
penjualan.
Menanggapi kerugian ini, sejumlah netizen menyoroti peran
Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Beberapa kritik
muncul di media sosial, mempertanyakan efektivitas kepemimpinannya. Namun, ada
juga yang membela Ahok, menyatakan bahwa tanpa kehadirannya, kerugian Pertamina
bisa jadi lebih besar.
Sebelumnya, Ahok menegaskan komitmennya untuk memberantas
korupsi di tubuh Pertamina. Ia menyatakan bahwa perusahaan telah bekerja sama
dengan KPK dan PPATK untuk mengawasi keuangan, dan siap melacak siapa pun yang
terlibat dalam praktik korupsi.
Kerugian yang dialami Pertamina ini memicu berbagai reaksi
publik, menyoroti tantangan yang dihadapi perusahaan energi nasional dalam
menjaga kinerja keuangannya di tengah situasi ekonomi global yang menantang.
Tahun 2021 Pertamina Terjepit Harga BBM: Kerugian Triliunan Rupiah
Akibat Penjualan di Bawah Harga Pasar
PT Pertamina (Persero) menghadapi tekanan finansial yang
signifikan akibat kebijakan penjualan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi di
bawah harga keekonomian. Langkah ini, meskipun bertujuan menjaga stabilitas
harga bagi konsumen, berpotensi menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi
perusahaan energi milik negara tersebut.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa potensi kerugian Pertamina dari penjualan BBM
RON 90 (Pertalite) pada tahun 2021 berkisar antara Rp37 triliun hingga Rp97
triliun. Sementara itu, penjualan BBM RON 92 (Pertamax) diperkirakan menambah
kerugian sebesar Rp14 triliun hingga Rp20 triliun. Secara total, selisih nilai
penjualan kedua jenis BBM tersebut dibandingkan dengan badan usaha lain
mencapai kisaran Rp51 triliun hingga Rp117 triliun.
Perbedaan harga jual ini menjadi salah satu faktor utama
yang menekan profitabilitas Pertamina. Harga BBM nonsubsidi yang dijual oleh
Pertamina terpantau lebih rendah dibandingkan dengan harga dari badan usaha
lainnya. Pertamina menjual Bensin RON 90 sebesar Rp7.650 per liter dan Bensin
RON 92 Rp9.000 per liter. Sementara harga jual Bensin RON 90 dari badan usaha
lain berkisar antara Rp9.500 hingga Rp12.500 per liter, dan Bensin RON 92
antara Rp11.900 hingga Rp13.000 per liter.
Komisaris Utama Pertamina, Ahok, mengakui bahwa penjualan
Pertalite di bawah harga keekonomian menjadi beban bagi perusahaan. Ia
menjelaskan bahwa harga jual Pertalite sebesar Rp7.650 per liter jauh di bawah
harga keekonomian yang mencapai Rp11.000 per liter. Kondisi ini diperparah oleh
kenaikan harga minyak mentah dunia yang telah menembus angka di atas US$70 per
barel, jauh di atas asumsi dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan yang
dipatok US$45 per barel.
Ahok menambahkan bahwa meskipun situasi ini menekan
keuangan perusahaan, hingga saat ini belum ada rencana untuk menaikkan harga
Pertalite. Keputusan terkait penyesuaian harga BBM berada di tangan pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara itu,
Pertamina telah melakukan berbagai upaya untuk menekan biaya operasional,
termasuk optimasi biaya yang telah mencapai US$675 juta, guna mengurangi dampak
kerugian akibat penjualan BBM di bawah harga keekonomian.
Situasi ini menempatkan Pertamina pada posisi sulit, di
mana perusahaan harus menyeimbangkan antara tanggung jawab sosial untuk
menyediakan BBM dengan harga terjangkau dan kebutuhan untuk menjaga kesehatan
finansial perusahaan. Ke depan, diperlukan kebijakan strategis yang mampu
mengakomodasi kedua aspek tersebut agar Pertamina dapat terus beroperasi secara
berkelanjutan tanpa mengorbankan kepentingan konsumen maupun stabilitas
keuangan perusahaan.
Lalu pada tahun 2023 , KPK Periksa Ahok Terkait
Dugaan Kerugian Negara Rp 2,1 Triliun dalam Pengadaan LNG Pertamina
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Komisaris
Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terkait dugaan kerugian
negara sebesar Rp 2,1 triliun dalam pengadaan gas alam cair (LNG) oleh
Pertamina. Pemeriksaan ini berlangsung selama sekitar 6,5 jam pada Selasa, 7
November 2023, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Kasus ini bermula dari keputusan mantan Direktur Utama
Pertamina, Karen Agustiawan, yang diduga secara sepihak menjalin kontrak
pengadaan LNG dengan perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC asal
Amerika Serikat tanpa kajian mendalam dan tanpa persetujuan pemerintah selaku
pemegang saham. Akibatnya, seluruh kargo LNG yang dibeli tidak terserap di
pasar domestik, menyebabkan over supply dan harus dijual rugi di pasar
internasional, yang diduga merugikan negara sebesar Rp 2,1 triliun.
Pemeriksaan terhadap Ahok dilakukan untuk menggali
informasi mengenai dugaan kerugian negara dalam pengadaan tersebut serta awal
mula rekomendasi pengadaan LNG di Pertamina. Usai pemeriksaan, Ahok enggan
berkomentar banyak terkait perbedaan argumen antara KPK dan Karen mengenai
kontrak tersebut. Ia menyarankan agar pertanyaan tersebut diajukan langsung
kepada penyidik KPK.
Kasus ini menambah daftar panjang permasalahan dalam tubuh
Pertamina terkait pengadaan LNG. Sebelumnya, KPK juga memeriksa Ahok pada
Januari 2025 terkait dugaan kerugian sebesar 337 juta dolar AS atau setara Rp
5,45 triliun dalam pengadaan LNG di Pertamina. Pemeriksaan tersebut terkait
dengan temuan Dewan Komisaris mengenai potensi kerugian akibat kontrak LNG yang
tidak menguntungkan.
Pemeriksaan terhadap Ahok kali ini menunjukkan keseriusan KPK dalam mengusut tuntas dugaan korupsi di tubuh Pertamina. Publik menantikan perkembangan selanjutnya dari kasus ini, mengingat besarnya kerugian negara yang ditimbulkan dan pentingnya Pertamina sebagai BUMN strategis di sektor energi, namun sepertinya kita tidak melihat lagi kasus ini.
Lagi dan lagi tahun 2024 , Ahok Ungkap Kerugian dan Utang Pertamina: Mengurai Benang Kusut Keuangan Raksasa Energi
Pada awal masa jabatannya sebagai Komisaris Utama PT
Pertamina (Persero), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dihadapkan pada potensi
kerugian perusahaan yang mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp15,65 triliun.
Dalam sebuah diskusi bertajuk "Ahok Is Back" di Jakarta Selatan,
Kamis (8/2/2024), Ahok membeberkan sejumlah tantangan yang dihadapi Pertamina,
termasuk kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pengelolaan keuangan di
anak perusahaan.
Ahok mengungkapkan bahwa subsidi BBM dan kenaikan harga
minyak mentah dunia memberikan tekanan besar pada keuangan Pertamina. Situasi
diperparah dengan kurangnya transparansi dan kontrol terhadap lebih dari 200
entitas anak, cucu, dan cicit perusahaan, di mana lebih dari 100 di antaranya
aktif beroperasi tanpa pengawasan keuangan yang memadai.
"Bayangkan, cucu dan cicit perusahaan punya deposito,
sementara induknya berutang untuk membayar subsidi. Pembelian minyak di luar
negeri harus kontan, tetapi pembayaran subsidi baru diaudit tahun
berikutnya," ujar Ahok.
Akibatnya, Pertamina terpaksa mengajukan pinjaman ke
Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk menutup selisih harga minyak. Ketika
plafon pinjaman di Himbara mencapai batas, perusahaan harus mencari pinjaman
jangka pendek dengan bunga tinggi dari sumber lain.
"Begitu bank Himbara sudah mentok, Pertamina 'ngecer'
ke mana-mana minjam duit, ada yang Rp5 juta, ada yang Rp10 juta, pinjaman
jangka pendek pasti bunganya gila-gilaan," tambahnya.
Sebagai langkah awal pembenahan, Ahok menekankan pentingnya
kontrol ketat terhadap arus kas hingga ke level cucu dan cicit perusahaan untuk
mencegah pemborosan. Ahok juga mengusulkan kepada Menteri Keuangan agar
pembayaran subsidi BBM tidak menunggu hingga 100% selesai, melainkan bisa
dilakukan saat mencapai 80%, dengan penyesuaian sisanya kemudian.
"Saya bilang ke Menteri Keuangan, kenapa mesti tunggu
sampai 100%? Sudah 80% dibayar dulu, sisanya baru kita adjust," jelas
Ahok.
Pengungkapan ini menyoroti kompleksitas tantangan keuangan
yang dihadapi Pertamina dan upaya pembenahan yang diperlukan untuk memastikan
keberlanjutan perusahaan energi plat merah ini.
![]() |
Doc : Youtube Narasi Newsroom |
“ BBM BLENDING MENCUAT “ dan akhirnya "BOOM” Dalam wawancara podcast Narasi Newsroom :
“Saya senang banget kalau Jaksa Agung memanggil saya,”
ujarnya, matanya tajam menatap . “Saya bisa kasih semua notulen dan rekaman
selama saya menjabat. Apa yang saya minta diubah, apa yang tidak dilakukan
direksi, semua tercatat.”
Ahok, dengan gayanya yang tak kenal basa-basi, mengungkap
kejanggalan dalam tubuh perusahaan minyak negara itu. Dari pengadaan yang sarat
kepentingan hingga permainan harga BBM yang terasa absurd bagi logika sehat. Ia
berbicara tentang upayanya menerapkan e-katalog—solusi sederhana yang
seharusnya bisa memangkas potensi korupsi—namun justru disambut dengan
perlawanan.
“Saya curiga ada permainan,” katanya. “Ada Dirut Patra
Niaga yang dipecat hanya karena tidak mau menandatangani pengadaan aditif.
Bahkan, ada oknum di BPK yang ikut terlibat, memastikan Pertamina tetap membeli
aditif dengan sistem tender yang tidak sah.”
Ahok tak hanya bicara, ia merinci. Bagaimana pengoplosan
BBM di SPBU bisa terjadi tanpa efek samping yang mencolok? “Logikanya, kalau
BBM dioplos dengan kualitas lebih rendah, mobil-mobil mewah pasti mogok. Tapi
nyatanya, itu tidak terjadi. Artinya, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar
pengoplosan,” tegasnya.
Lalu ada insiden kebakaran di tangki minyak Pertamina, yang
baginya lebih dari sekadar kecelakaan. “Yang dibakar itu bukan kilang, tapi
tangki paling luar. Itu jalur distribusi minyak ke kapal. Kenapa? Karena ada
indikasi pencurian minyak,” suaranya meninggi, matanya penuh kemarahan.
Lebih dari sekadar mengkritik, Ahok menunjukkan akar
persoalan: korupsi yang menjalar seperti kanker, serta kemunafikan yang
dipelihara oleh mereka yang berkepentingan. Dan ia menantang pemerintah.
“Saya berani jamin, kalau rezim ini betul-betul ingin
bereskan negeri dari korupsi di sektor migas, saya punya cukup data untuk
memenjarakan mereka yang terlibat,” katanya.
Dalam percakapan lebih lanjut, Ahok menyoroti bagaimana
mekanisme pengawasan di Pertamina di eranya sering mengalami perlawanan. “Saya
sudah lakukan yang terbaik untuk Pertamina. Tapi kalau saya dikasih kewenangan
lebih seperti waktu saya jadi Gubernur, saya bisa pecat-pecatin mereka dalam
seminggu,” ujarnya.
Ia juga menyoroti dugaan pengondisian terhadap minyak
produksi dalam negeri, yang sering dianggap tidak efisien dan tidak ekonomis
oleh anak perusahaan Pertamina, sehingga lebih memilih impor. “Kalau diperiksa
dengan benar, semua klaim itu bisa dengan mudah dibantah. Bahkan, bisa lebih
banyak orang masuk penjara,” tambahnya.
Dalam nada yang lebih tegas, Ahok juga menyoroti aliran
dana mencurigakan. “Kalau saya jadi Jaksa Agung, saya akan telusuri uang dari
supplier itu ke mana. Kalau ada yang tarik cash sampai ratusan miliar, pasti
ada yang tidak beres. Itu untuk bagi-bagi,” katanya.
Selain itu, Ahok juga berbicara mengenai digitalisasi
procurement dan optimasi biaya. “Saya sudah minta kerja sama dengan LKPP untuk
membuat satu laman khusus Pertamina. Tapi direksi malah berulang kali menunda.
Saya panggil, ngeyel lagi, panggil, ngeyel lagi,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti kebijakan pengadaan barang yang tidak
efisien. “Kenapa pengadaan barang di kilang berbeda-beda dengan nama dan PT
berbeda, padahal barangnya sama? Ini yang membuat shutdown terjadi karena
banyak supplier yang tidak kompeten,” jelasnya.
Ketika ditanya apakah ia menyesali sesuatu selama menjabat
sebagai Komisaris Utama, Ahok menjawab tegas, “Saya tidak pernah menyesali apa
yang saya lakukan. Semua saya lakukan dengan nurani yang murni. Saya berdiri
untuk kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Saya tidak mengingkari sumpah jabatan
saya dan tidak menghina Tuhan saya dalam menjalankan tugas politik saya.”
Ahok, Hotman, dan Korupsi Pertamina yang Menggelinding
Namun, bagi Hotman Paris, langkah Ahok ini terlalu
terlambat. Pengacara flamboyan itu melontarkan pertanyaan tajam: “Kenapa dulu
diam?”
“Tugas komisaris itu mengawasi, sekecil apa pun
pelanggarannya. Kenapa sekarang baru bicara?” kata Hotman dalam sebuah video
yang beredar luas di media sosial. Ia menuding Ahok baru bersuara setelah
Kejaksaan Agung mulai menyeret nama-nama besar di Pertamina ke dalam jerat
hukum. Bagi Hotman, Ahok seharusnya bersuara sejak awal atau, jika memang tak
bisa berbuat banyak, mengembalikan semua gaji yang diterimanya selama menjabat.
Pernyataan Hotman itu menjadi bola liar di tengah publik
yang sudah telanjur muak dengan praktik korupsi di sektor migas. Ahok, yang
selama ini dikenal vokal dan anti-korupsi, kini justru berada di posisi yang
diserang. Tak sedikit yang mempertanyakan, jika memang ia menyadari ada
permainan di Pertamina, mengapa tidak langsung melaporkan ke penegak hukum?.
Dalam beberapa kesempatan, Ahok membela diri. Ia mengaku
telah berusaha melakukan berbagai langkah perbaikan, mulai dari optimalisasi
biaya, digitalisasi sistem pengadaan, hingga menekan direksi agar lebih
transparan. Namun, ia juga mengungkapkan keterbatasan kewenangannya sebagai
komisaris, yang membuatnya tak bisa langsung ‘menyikat’ para pemain di dalam
tubuh Pertamina.
“Saya sudah teriak berkali-kali, maki-maki di rapat. Saya
cuma bisa menekan, bukan mengambil keputusan eksekutif,” ujar Ahok dalam sebuah
wawancara. Ia pun mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung dalam membongkar
jaringan mafia migas yang disebut-sebut telah bercokol sejak lama.
Sementara itu, Kejaksaan Agung terus bergerak. Sejumlah
nama pejabat dan mantan petinggi Pertamina telah dipanggil untuk diperiksa.
Mereka dituding mengatur pengadaan minyak dan gas demi keuntungan pribadi dan
kelompok. Nilai kerugian negara pun fantastis: Rp 271 triliun, menjadikannya
salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Polemik antara Ahok dan Hotman hanyalah salah satu episode berbeda dalam drama panjang tata kelola energi di negeri ini. Namun, pertanyaan yang
lebih besar tetap menggantung: akankah skandal ini benar-benar dibongkar hingga
ke akar-akarnya? Ataukah, seperti kasus-kasus besar lain, hanya akan berakhir
dengan beberapa nama yang dikorbankan, sementara jaringan besar tetap tak
tersentuh?.
Yang jelas, publik menanti. Dengan harapan, bukan sekadar
janji-janji pemberantasan korupsi yang didengungkan, melainkan langkah nyata
yang benar-benar bisa mengubah wajah industri energi nasional yang selama ini
penuh noda hitam.
Di tengah polemik ini, publik menanti dengan harap-harap cemas. Akankah ada
pencerahan di balik kabut tebal yang menyelimuti Pertamina? Ataukah ini hanya
akan menjadi episode lain dari drama panjang yang tak kunjung usai di panggung
politik Indonesia? Jangan biarkan hanya waktu yang akan menjawabnya.