-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

**** UPDATE INFORMASI TERBARU - BERITA-TEKINI- TRENDING-INFO KESEHATAN- INFO LOWONGAN KERJA- HOBI - INFO PENDIDIKAN****

"Kenapa Saat jadi Komisaris Utama Ahok Diam??!"- Hotman Paris: Akahkah Menggugat Ahok dalam Bayang-Bayang Korupsi Pertamina ?

Wednesday, March 12, 2025 | 12:51 AM WIB | 000 Views Last Updated 2025-03-14T22:29:01Z

Ahok Dalam Pertamina: Drama Pengawasan, Kerugian Triliunan, dan Pertarungan Kuasa di Balik Skandal Migas"

( pojok catatan by : Arif Surya  -raekula)


(dok Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Sejak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina pada 2019, langkahnya seperti berjalan di atas bara. “Saya bukan godfather. Tugas saya cuma duduk mengawasi,” klaimnya. Tapi, di tengah kerugian triliunan, skandal pengadaan LNG, hingga kebakaran tangki minyak yang diduga terkait pencurian, pernyataan itu justru memantik pertanyaan: sejauh apa kekuasaan seorang komisaris di BUMN yang menjadi jantung—dan sekaligus luka—sektor energi Indonesia?


Pertamina, raksasa dengan 200 anak perusahaan dan utang menumpuk, adalah medan perang antara idealisme dan pragmatisme. Di satu sisi, Ahok—dengan gaya hands-on dan retorika anti-korupsi—berusaha membongkar borok internal: dari pengadaan aditif bermasalah, mark-up harga BBM, hingga aliran dana mencurigakan ke “oknum BPK”. Di sisi lain, ia terjepit oleh struktur korporasi yang membatasi kewenangannya. “Saya cuma bisa teriak di rapat, bukan pecat direksi,” akunya.


Tahun 2020-2024 menjadi saksi ironi: kerugian Pertamina mencapai Rp11 triliun (2020) hingga potensi Rp117 triliun (2021) akibat kebijakan harga BBM di bawah pasar. KPK pun menyelidiki kerugian Rp2,1 triliun dari pengadaan LNG ilegal (2023), mengaitkan Ahok sebagai saksi kunci. Namun, di tengah gugatan Hotman Paris—yang menuduhnya “lamban bersuara”—Ahok justru membeberkan bukti rekaman rapat dan dokumen pengadaan yang ia klaim sebagai “senjata” untuk memenjarakan mafia migas.


Konflik ini bukan sekadar bagaimana Ahok bisa diam saat berada di Pertamina, melainkan cermin ambivalensi sistemik. Di panggung yang sama, BUMN dijadikan “kantor kedua” elite, di mana 35% jabatan direksi dan komisaris diisi mantan politisi—bertentangan dengan UU yang mensyaratkan profesionalisme. Hotman Paris mungkin benar: “Jika tak bisa bertindak, kembalikan gajimu!” Tapi, Ahok memilih jalan lain: membuka kotak Pandora tata kelola Pertamina, sambil berteriak, “Saya berani jamin, semua data ada di sini!”


Di balik keributan ini, ada pertanyaan yang lebih gelap: mengapa reformasi BUMN selalu gagal? Apakah karena korupsi yang mengakar, atau karena negara tak pernah serius memutus lingkaran godfather yang menggerogoti dari dalam?  selama Pertamina menjadi ajang rebutan kuasa—bukan rumah bagi transparansi—maka kerugian triliunan hanyalah gejala dari demokrasi yang terperangkap dalam jerat oligarki.



Mari kita Kembali melihat apakah sejatinya Ahok benar-benar bukan menjadi “God Father” di Pertamina ?

Ahok bukanlah nama asing dalam peta kekuasaan Indonesia. Setelah karir politiknya di Pilkada DKI 2017 berakhir dengan vonis penjara, ia kembali ke publik pada 2019 melalui pintu belakang korporasi: Seperti diketahui, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi diangkat sebagai Komisaris Utama Pertamina oleh Menteri BUMN Erick Thohir pada 25 November 2019.diangkat sebagai Komisaris Utama Pertamina.


"Insya Allah saya rasa sudah putus dari beliau (Presiden Joko Widodo selaku ketua Tim Penilai Akhir). Pak Basuki akan menjadi komisaris utama Pertamina," ujar Erick kepada wartawan ketika ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (22/11/2019).


Walau langkah ini menuai kritik. Bagi sebagian kalangan, penempatan mantan politisi di tubuh BUMN kerap dianggap sebagai “proyek lunak” untuk menjaga relevansi—atau bahkan sebagai bentuk political reward.

 


Pertamina, sebagai holding company energi terbesar Indonesia, adalah entitas yang kompleks. Perusahaan ini bukan hanya mengelola cadangan migas senilai ratusan triliun, tetapi juga menjadi alat politik pemerintah dalam menstabilkan harga dan menyalurkan subsidi. Sayangnya, beban tersebut sering berbenturan dengan realitas bisnis. Laporan BPK periode 2018-2019 mencatat setidaknya 14 temuan ketidakwajaran, mulai dari tumpang-tindih kebijakan hingga potensi korupsi di proyek infrastruktur.


Di tengah situasi saat itu , kehadiran Ahok—dengan citra dari sebagian pendukungnya sebagai “pemberantas mafia”—seolah menjadi simbol harapan. Tapi benarkah seorang komisaris bisa melakukan perubahan struktural? Faisal Basri, ekonom senior, pernah mengingatkan: “Posisi komisaris di BUMN seringkali hanya rubber stamp. Kekuasaan nyata ada di direksi dan pemegang saham, dalam hal ini negara.”


Klaim Ahok bahwa tugasnya hanya “mengawasi” patut dikaji ulang. Dalam struktur korporat, komisaris memang bertugas mengawasi direksi, termasuk menyetujui rencana anggaran dan kebijakan strategis. Namun, dalam praktiknya, garis antara pengawasan dan intervensi bisa kabur—apalagi jika komisaris membawa modal politik besar.


Seorang mantan jaksa KPK yang enggan disebut namanya memberi analogi: “Jika komisaris aktif turun ke lapangan, memeriksa proyek, dan memanggil direksi untuk dimintai pertanggungjawaban, itu bukan sekadar pengawasan. Itu bentuk micro-management yang biasanya dilakukan pemilik perusahaan.” Pertanyaannya: apakah Ahok—dengan karakter hands-on-nya—mampu menjaga batasan itu?


Istilah godfather yang ditolak Ahok kerap diasosiasikan dengan kekuasaan terselubung dalam dunia korporasi. Tapi dalam konteks Pertamina, isu ini lebih kompleks. Sejak era awal reformasi, Pertamina dianggap sebagai “kantor kedua” para elite. Mulai dari proyek kilang minyak yang mangkrak hingga kontrak migas yang meragukan, mafia di sektor energi kerap disebut sebagai aktor utamanya.


Di tengah kondisi itu, kehadiran figur seperti Ahok—yang secara terbuka membeberkan borok internal—bisa dilihat sebagai upaya shock therapy. Tapi apakah ini cukup? Peneliti Lembaga Studi Kebijakan Publik, Achmad Sukarsono, berpendapat: “Reformasi BUMN tidak bisa mengandalkan individu. Butuh sistem yang mencegah intervensi politik sekaligus menjamin transparansi.


Kasus Ahok menyoroti fenomena lebih luas: BUMN sebagai “tempat pensiun” politisi. Data Kementerian BUMN (2019) mencatat 35% posisi komisaris dan direksi diisi oleh mantan pejabat atau politisi. Padahal, UU No. 19/2003 tentang BUMN mensyaratkan bahwa direksi harus profesional.


Hal ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, kehadiran politisi bisa membawa akses ke pemerintah. Di sisi lain, risiko korupsi dan konflik kepentingan meningkat. “Jika seorang komisaris datang dengan agenda politik, bukan bisnis, maka Pertamina hanya akan menjadi batu loncatan,” ujar pengamat corporate governance, Hariadi Sosrodiharjo.



Ahok mungkin benar bahwa tugas formalnya hanya mengawasi. Tapi dalam politik, yang tak tertulis sering lebih penting dari yang tertulis. Selama BUMN dijadikan ajang rebutan pengaruh, maka posisi seperti komisaris tetap akan dipenuhi bayang-bayang godfather.

Pertanyaan terbesar bukanlah tentang apa yang Ahok lakukan di Pertamina, tetapi bagaimana negara ini merumuskan ulang hubungan antara kekuasaan dan korporasi. Sampai saat itu terwujud, BUMN akan tetap menjadi cermin dari demokrasi yang setengah matang: ambisinya besar, tetapi strukturnya rapuh.

 

Masih ingatkah pada tahun 2020 , Pertamina Rugi Rp11 Triliun: Ahok Jadi Sorotan Publik


Ahok ramai dibahas di Twitter. Hal itu menyusul kinerja Pertamina yang mencatat rugi US$ 767,92 juta atau setara Rp 11,13 triliun (kurs Rp 14.500).


PT Pertamina (Persero) melaporkan kerugian sebesar US$ 767,92 juta atau setara Rp 11,13 triliun pada semester I-2020. Angka ini berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana perusahaan mencatat laba sebesar US$ 659,96 juta atau Rp 9,56 triliun.


Penurunan kinerja ini terutama disebabkan oleh anjloknya penjualan perusahaan sebesar 19,84%, menjadi US$ 20,48 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 25,55 miliar. Meskipun total beban pokok penjualan dan beban langsung berhasil turun 14,15% menjadi US$ 18,87 miliar, penurunan tersebut belum mampu menutupi kerugian akibat turunnya penjualan.


Menanggapi kerugian ini, sejumlah netizen menyoroti peran Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Beberapa kritik muncul di media sosial, mempertanyakan efektivitas kepemimpinannya. Namun, ada juga yang membela Ahok, menyatakan bahwa tanpa kehadirannya, kerugian Pertamina bisa jadi lebih besar.


Sebelumnya, Ahok menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi di tubuh Pertamina. Ia menyatakan bahwa perusahaan telah bekerja sama dengan KPK dan PPATK untuk mengawasi keuangan, dan siap melacak siapa pun yang terlibat dalam praktik korupsi.


Kerugian yang dialami Pertamina ini memicu berbagai reaksi publik, menyoroti tantangan yang dihadapi perusahaan energi nasional dalam menjaga kinerja keuangannya di tengah situasi ekonomi global yang menantang.


Tahun 2021 Pertamina Terjepit Harga BBM: Kerugian Triliunan Rupiah Akibat Penjualan di Bawah Harga Pasar

PT Pertamina (Persero) menghadapi tekanan finansial yang signifikan akibat kebijakan penjualan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi di bawah harga keekonomian. Langkah ini, meskipun bertujuan menjaga stabilitas harga bagi konsumen, berpotensi menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi perusahaan energi milik negara tersebut.


Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa potensi kerugian Pertamina dari penjualan BBM RON 90 (Pertalite) pada tahun 2021 berkisar antara Rp37 triliun hingga Rp97 triliun. Sementara itu, penjualan BBM RON 92 (Pertamax) diperkirakan menambah kerugian sebesar Rp14 triliun hingga Rp20 triliun. Secara total, selisih nilai penjualan kedua jenis BBM tersebut dibandingkan dengan badan usaha lain mencapai kisaran Rp51 triliun hingga Rp117 triliun.


Perbedaan harga jual ini menjadi salah satu faktor utama yang menekan profitabilitas Pertamina. Harga BBM nonsubsidi yang dijual oleh Pertamina terpantau lebih rendah dibandingkan dengan harga dari badan usaha lainnya. Pertamina menjual Bensin RON 90 sebesar Rp7.650 per liter dan Bensin RON 92 Rp9.000 per liter. Sementara harga jual Bensin RON 90 dari badan usaha lain berkisar antara Rp9.500 hingga Rp12.500 per liter, dan Bensin RON 92 antara Rp11.900 hingga Rp13.000 per liter.


Komisaris Utama Pertamina, Ahok, mengakui bahwa penjualan Pertalite di bawah harga keekonomian menjadi beban bagi perusahaan. Ia menjelaskan bahwa harga jual Pertalite sebesar Rp7.650 per liter jauh di bawah harga keekonomian yang mencapai Rp11.000 per liter. Kondisi ini diperparah oleh kenaikan harga minyak mentah dunia yang telah menembus angka di atas US$70 per barel, jauh di atas asumsi dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan yang dipatok US$45 per barel.


Ahok menambahkan bahwa meskipun situasi ini menekan keuangan perusahaan, hingga saat ini belum ada rencana untuk menaikkan harga Pertalite. Keputusan terkait penyesuaian harga BBM berada di tangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara itu, Pertamina telah melakukan berbagai upaya untuk menekan biaya operasional, termasuk optimasi biaya yang telah mencapai US$675 juta, guna mengurangi dampak kerugian akibat penjualan BBM di bawah harga keekonomian.


Situasi ini menempatkan Pertamina pada posisi sulit, di mana perusahaan harus menyeimbangkan antara tanggung jawab sosial untuk menyediakan BBM dengan harga terjangkau dan kebutuhan untuk menjaga kesehatan finansial perusahaan. Ke depan, diperlukan kebijakan strategis yang mampu mengakomodasi kedua aspek tersebut agar Pertamina dapat terus beroperasi secara berkelanjutan tanpa mengorbankan kepentingan konsumen maupun stabilitas keuangan perusahaan.


 

Lalu pada tahun 2023 , KPK Periksa Ahok Terkait Dugaan Kerugian Negara Rp 2,1 Triliun dalam Pengadaan LNG Pertamina

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terkait dugaan kerugian negara sebesar Rp 2,1 triliun dalam pengadaan gas alam cair (LNG) oleh Pertamina. Pemeriksaan ini berlangsung selama sekitar 6,5 jam pada Selasa, 7 November 2023, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.


Kasus ini bermula dari keputusan mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, yang diduga secara sepihak menjalin kontrak pengadaan LNG dengan perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC asal Amerika Serikat tanpa kajian mendalam dan tanpa persetujuan pemerintah selaku pemegang saham. Akibatnya, seluruh kargo LNG yang dibeli tidak terserap di pasar domestik, menyebabkan over supply dan harus dijual rugi di pasar internasional, yang diduga merugikan negara sebesar Rp 2,1 triliun.


Pemeriksaan terhadap Ahok dilakukan untuk menggali informasi mengenai dugaan kerugian negara dalam pengadaan tersebut serta awal mula rekomendasi pengadaan LNG di Pertamina. Usai pemeriksaan, Ahok enggan berkomentar banyak terkait perbedaan argumen antara KPK dan Karen mengenai kontrak tersebut. Ia menyarankan agar pertanyaan tersebut diajukan langsung kepada penyidik KPK.


Kasus ini menambah daftar panjang permasalahan dalam tubuh Pertamina terkait pengadaan LNG. Sebelumnya, KPK juga memeriksa Ahok pada Januari 2025 terkait dugaan kerugian sebesar 337 juta dolar AS atau setara Rp 5,45 triliun dalam pengadaan LNG di Pertamina. Pemeriksaan tersebut terkait dengan temuan Dewan Komisaris mengenai potensi kerugian akibat kontrak LNG yang tidak menguntungkan.


Pemeriksaan terhadap Ahok kali ini menunjukkan keseriusan KPK dalam mengusut tuntas dugaan korupsi di tubuh Pertamina. Publik menantikan perkembangan selanjutnya dari kasus ini, mengingat besarnya kerugian negara yang ditimbulkan dan pentingnya Pertamina sebagai BUMN strategis di sektor energi, namun sepertinya kita tidak melihat lagi kasus ini.

 

Lagi dan lagi tahun 2024 , Ahok Ungkap Kerugian dan Utang Pertamina: Mengurai Benang Kusut Keuangan Raksasa Energi

Pada awal masa jabatannya sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dihadapkan pada potensi kerugian perusahaan yang mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp15,65 triliun. Dalam sebuah diskusi bertajuk "Ahok Is Back" di Jakarta Selatan, Kamis (8/2/2024), Ahok membeberkan sejumlah tantangan yang dihadapi Pertamina, termasuk kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pengelolaan keuangan di anak perusahaan.


Ahok mengungkapkan bahwa subsidi BBM dan kenaikan harga minyak mentah dunia memberikan tekanan besar pada keuangan Pertamina. Situasi diperparah dengan kurangnya transparansi dan kontrol terhadap lebih dari 200 entitas anak, cucu, dan cicit perusahaan, di mana lebih dari 100 di antaranya aktif beroperasi tanpa pengawasan keuangan yang memadai.


"Bayangkan, cucu dan cicit perusahaan punya deposito, sementara induknya berutang untuk membayar subsidi. Pembelian minyak di luar negeri harus kontan, tetapi pembayaran subsidi baru diaudit tahun berikutnya," ujar Ahok.


Akibatnya, Pertamina terpaksa mengajukan pinjaman ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk menutup selisih harga minyak. Ketika plafon pinjaman di Himbara mencapai batas, perusahaan harus mencari pinjaman jangka pendek dengan bunga tinggi dari sumber lain.


"Begitu bank Himbara sudah mentok, Pertamina 'ngecer' ke mana-mana minjam duit, ada yang Rp5 juta, ada yang Rp10 juta, pinjaman jangka pendek pasti bunganya gila-gilaan," tambahnya.


Sebagai langkah awal pembenahan, Ahok menekankan pentingnya kontrol ketat terhadap arus kas hingga ke level cucu dan cicit perusahaan untuk mencegah pemborosan. Ahok juga mengusulkan kepada Menteri Keuangan agar pembayaran subsidi BBM tidak menunggu hingga 100% selesai, melainkan bisa dilakukan saat mencapai 80%, dengan penyesuaian sisanya kemudian.


"Saya bilang ke Menteri Keuangan, kenapa mesti tunggu sampai 100%? Sudah 80% dibayar dulu, sisanya baru kita adjust," jelas Ahok.


Pengungkapan ini menyoroti kompleksitas tantangan keuangan yang dihadapi Pertamina dan upaya pembenahan yang diperlukan untuk memastikan keberlanjutan perusahaan energi plat merah ini.

Doc : Youtube Narasi Newsroom

BBM BLENDING MENCUAT “ dan akhirnya "BOOM”  Dalam wawancara podcast Narasi Newsroom :

“Saya senang banget kalau Jaksa Agung memanggil saya,” ujarnya, matanya tajam menatap . “Saya bisa kasih semua notulen dan rekaman selama saya menjabat. Apa yang saya minta diubah, apa yang tidak dilakukan direksi, semua tercatat.”


Ahok, dengan gayanya yang tak kenal basa-basi, mengungkap kejanggalan dalam tubuh perusahaan minyak negara itu. Dari pengadaan yang sarat kepentingan hingga permainan harga BBM yang terasa absurd bagi logika sehat. Ia berbicara tentang upayanya menerapkan e-katalog—solusi sederhana yang seharusnya bisa memangkas potensi korupsi—namun justru disambut dengan perlawanan.


“Saya curiga ada permainan,” katanya. “Ada Dirut Patra Niaga yang dipecat hanya karena tidak mau menandatangani pengadaan aditif. Bahkan, ada oknum di BPK yang ikut terlibat, memastikan Pertamina tetap membeli aditif dengan sistem tender yang tidak sah.”


Ahok tak hanya bicara, ia merinci. Bagaimana pengoplosan BBM di SPBU bisa terjadi tanpa efek samping yang mencolok? “Logikanya, kalau BBM dioplos dengan kualitas lebih rendah, mobil-mobil mewah pasti mogok. Tapi nyatanya, itu tidak terjadi. Artinya, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pengoplosan,” tegasnya.


Lalu ada insiden kebakaran di tangki minyak Pertamina, yang baginya lebih dari sekadar kecelakaan. “Yang dibakar itu bukan kilang, tapi tangki paling luar. Itu jalur distribusi minyak ke kapal. Kenapa? Karena ada indikasi pencurian minyak,” suaranya meninggi, matanya penuh kemarahan.


Lebih dari sekadar mengkritik, Ahok menunjukkan akar persoalan: korupsi yang menjalar seperti kanker, serta kemunafikan yang dipelihara oleh mereka yang berkepentingan. Dan ia menantang pemerintah.


“Saya berani jamin, kalau rezim ini betul-betul ingin bereskan negeri dari korupsi di sektor migas, saya punya cukup data untuk memenjarakan mereka yang terlibat,” katanya.


Dalam percakapan lebih lanjut, Ahok menyoroti bagaimana mekanisme pengawasan di Pertamina di eranya sering mengalami perlawanan. “Saya sudah lakukan yang terbaik untuk Pertamina. Tapi kalau saya dikasih kewenangan lebih seperti waktu saya jadi Gubernur, saya bisa pecat-pecatin mereka dalam seminggu,” ujarnya.


Ia juga menyoroti dugaan pengondisian terhadap minyak produksi dalam negeri, yang sering dianggap tidak efisien dan tidak ekonomis oleh anak perusahaan Pertamina, sehingga lebih memilih impor. “Kalau diperiksa dengan benar, semua klaim itu bisa dengan mudah dibantah. Bahkan, bisa lebih banyak orang masuk penjara,” tambahnya.


Dalam nada yang lebih tegas, Ahok juga menyoroti aliran dana mencurigakan. “Kalau saya jadi Jaksa Agung, saya akan telusuri uang dari supplier itu ke mana. Kalau ada yang tarik cash sampai ratusan miliar, pasti ada yang tidak beres. Itu untuk bagi-bagi,” katanya.


Selain itu, Ahok juga berbicara mengenai digitalisasi procurement dan optimasi biaya. “Saya sudah minta kerja sama dengan LKPP untuk membuat satu laman khusus Pertamina. Tapi direksi malah berulang kali menunda. Saya panggil, ngeyel lagi, panggil, ngeyel lagi,” ungkapnya.


Ia juga menyoroti kebijakan pengadaan barang yang tidak efisien. “Kenapa pengadaan barang di kilang berbeda-beda dengan nama dan PT berbeda, padahal barangnya sama? Ini yang membuat shutdown terjadi karena banyak supplier yang tidak kompeten,” jelasnya.


Ketika ditanya apakah ia menyesali sesuatu selama menjabat sebagai Komisaris Utama, Ahok menjawab tegas, “Saya tidak pernah menyesali apa yang saya lakukan. Semua saya lakukan dengan nurani yang murni. Saya berdiri untuk kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Saya tidak mengingkari sumpah jabatan saya dan tidak menghina Tuhan saya dalam menjalankan tugas politik saya.”


Ahok, Hotman, dan Korupsi Pertamina yang Menggelinding

Namun, bagi Hotman Paris, langkah Ahok ini terlalu terlambat. Pengacara flamboyan itu melontarkan pertanyaan tajam: “Kenapa dulu diam?”


Tugas komisaris itu mengawasi, sekecil apa pun pelanggarannya. Kenapa sekarang baru bicara?” kata Hotman dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial. Ia menuding Ahok baru bersuara setelah Kejaksaan Agung mulai menyeret nama-nama besar di Pertamina ke dalam jerat hukum. Bagi Hotman, Ahok seharusnya bersuara sejak awal atau, jika memang tak bisa berbuat banyak, mengembalikan semua gaji yang diterimanya selama menjabat.


Pernyataan Hotman itu menjadi bola liar di tengah publik yang sudah telanjur muak dengan praktik korupsi di sektor migas. Ahok, yang selama ini dikenal vokal dan anti-korupsi, kini justru berada di posisi yang diserang. Tak sedikit yang mempertanyakan, jika memang ia menyadari ada permainan di Pertamina, mengapa tidak langsung melaporkan ke penegak hukum?.


Dalam beberapa kesempatan, Ahok membela diri. Ia mengaku telah berusaha melakukan berbagai langkah perbaikan, mulai dari optimalisasi biaya, digitalisasi sistem pengadaan, hingga menekan direksi agar lebih transparan. Namun, ia juga mengungkapkan keterbatasan kewenangannya sebagai komisaris, yang membuatnya tak bisa langsung ‘menyikat’ para pemain di dalam tubuh Pertamina.


“Saya sudah teriak berkali-kali, maki-maki di rapat. Saya cuma bisa menekan, bukan mengambil keputusan eksekutif,” ujar Ahok dalam sebuah wawancara. Ia pun mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung dalam membongkar jaringan mafia migas yang disebut-sebut telah bercokol sejak lama.


Sementara itu, Kejaksaan Agung terus bergerak. Sejumlah nama pejabat dan mantan petinggi Pertamina telah dipanggil untuk diperiksa. Mereka dituding mengatur pengadaan minyak dan gas demi keuntungan pribadi dan kelompok. Nilai kerugian negara pun fantastis: Rp 271 triliun, menjadikannya salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.


Polemik antara Ahok dan Hotman hanyalah salah satu episode berbeda dalam drama panjang tata kelola energi di negeri ini. Namun, pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung: akankah skandal ini benar-benar dibongkar hingga ke akar-akarnya? Ataukah, seperti kasus-kasus besar lain, hanya akan berakhir dengan beberapa nama yang dikorbankan, sementara jaringan besar tetap tak tersentuh?.


Yang jelas, publik menanti. Dengan harapan, bukan sekadar janji-janji pemberantasan korupsi yang didengungkan, melainkan langkah nyata yang benar-benar bisa mengubah wajah industri energi nasional yang selama ini penuh noda hitam.


Di tengah polemik ini, publik menanti dengan harap-harap cemas. Akankah ada pencerahan di balik kabut tebal yang menyelimuti Pertamina? Ataukah ini hanya akan menjadi episode lain dari drama panjang yang tak kunjung usai di panggung politik Indonesia? Jangan biarkan hanya waktu yang akan menjawabnya.


****BERBAGI INFORMASI-PENDIDIKAN-OLAHRAGA-KESEHATAN-LOWONGAN KERJA****
Informasi lowongan kerja terbaru

Informasi lowongan kerja terbaru

lowongan kerja- terbaru 2025

Lowongan Kerja Terbaru - Jateng-Soloraya-Jatim-Surabaya-Malang-Kediriraya

Info Kursus- Kampung Inggris Pare kediri

×
Berita Terbaru Update